Kamis, 25 November 2010

Guru Sumber Inspirasi (Renungan Memperingati Hari Guru Nasional 2010)

Tulisan ini berdasarkan artikel yang berjudul "Guru Sumber Inspirasi" yang ditayangkan di Kolom Guru pada website Nurul Fikri ditulis oleh Suhartono, S. Pd

 Tulisan ini saya awali dengan menampilkan tulisan utuh dari Prof. Dr. Rhenald Kasali berikut.

Guru Inspiratif - Contributed by Rhenald Kasali

Dalam hidup ini kita mengenal dua jenis guru, guru kurikulum dan guru inspiratif. Yang pertama amat patuh kepada kurikulum dan merasa berdosa bila tidak bisa mentransfer semua isi buku yang ditugaskan. Ia mengajarkan sesuatu yang standar (habitual thinking). Guru kurikulum mewakili 99 persen guru yang saya temui. Jumlah guru inspiratif amat terbatas, kurang dari 1 persen. Ia bukan guru yang mengejar kurikulum, tetapi mengajak murid-muridnya berpikir kreatif (maximum thinking). Ia mengajak murid-muridnya melihat sesuatu dari luar (thinking out of box), mengubahnya di dalam, lalu membawa kembali keluar, ke masyarakat luas. Jika guru kurikulum melahirkan manajer-manajer andal, guru inspiratif melahirkan pemimpin-pembaru yang berani menghancurkan aneka kebiasaan lama.
Dunia memerlukan keduanya, seperti kita memadukan validitas internal (dijaga oleh guru kurikulum) dengan validitas eksternal (yang dikuasai guru inspiratif) dalam penjelajahan ilmu pengetahuan. Sayang, sistem sekolah kita hanya memberi tempat bagi guru kurikulum. Keberadaan guru inspiratif akan amat menentukan berapa lama suatu bangsa mampu keluar dari krisis. Semakin dibatasi, akan semakin lama dan semakin sulit suatu bangsa keluar dari kegelapan.
"Freedom Writers" Karya-karya pembaruan, baik temuan spektakuler keilmuan, produk komersial, maupun gerakan sosial, akan tampak di masyarakat. Namun tak dapat dimungkiri, semua itu berawal dari sekolah. Dari tangan dan pikiran guru-guru inspiratif yang gelisah dan melihat perlunya kreativitas. Ia memperbaiki hal-hal yang dipercaya banyak orang tidak bisa diperbaiki dan menghubungkan hal-hal yang tidak terhubung (connecting the unconnected)
Kisah dan karya guru inspiratif antara lain dapat dilihat pada Erin Gruwell, perempuan guru yang ditempatkan di sebuah kelas "bodoh", yang murid-muridnya sering terlibat kekerasan antar geng. Berbeda dengan kelas sebelah yang merupakan kumpulan honors students, yang memiliki DNA pintar dan disiplin. Di honors class yang dibutuhkan adalah guru kurikulum. Erin Gruwell memulai dengan segala kesulitan. Selain katanya "bodoh" dan tidak disiplin, mereka banyak melawan, saling melecehkan, temperamental, dan selalu rusuh. Di pinggang anak-anak SMA ini hanya ada pistol atau kokain. Di luar sekolah mereka saling mengancam dan membunuh. Itu adalah kelas buangan. Bagi para guru kurikulum, anak-anak supernakal tak boleh disekolahkan bersama distinguished scholars. Tetapi Erin Gruwell tak putus asa, ia membuat "kurikulum" sendiri yang bukan berisi aneka ajaran pengetahuan biasa (hard skill), tetapi pengetahuan hidup.

Ia mulai dengan sebuah permainan (line games) dengan menarik sebuah garis merah di lantai, membagi mereka dalam dua kelompok kiri dan kanan. Kalau menjawab "ya" mereka harus mendekati garis. Dimulai dengan beberapa pertanyaan ringan, dari album musik kesayangan, sampai keanggotaan geng, kepemilikan narkoba, dan pernah dipenjara atau ada teman yang mati akibat kekerasan antar geng. Line games menyatukan anak-anak nakal yang tiba-tiba melihat bahwa mereka senasib. Sama-sama waswas, hidup penuh ancaman, curiga kepada kelompok lain dan tak punya masa depan.
Mereka mulai bisa lebih relaks terhadap guru dan teman- temannya serta sepakat saling memperbarui hubungan.
Setelah berdamai, guru inspiratif membagikan buku, mulai dari biografi Anne Frank yang menjadi korban kejahatan Nazi sampai buku harian. Anak-anak diminta menulis kisah hidupnya, apa saja. Mereka menulis bebas. Tulisan mereka disatukan, dan diberi judul Freedom Writers. Murid-murid berubah, hidup mereka menjadi lebih baik dan banyak yang menjadi pelaku perubahan di masyarakat. Kisah guru inspiratif dan perubahan yang dialami anak-anak ini didokumentasikan dalam film Freedom Writers yang dibintangi Hilary Swank. Keluar dari belenggu Apa yang
dilakukan Erin Gruwell sebenarnya tidak hanya terbatas pada dunia pendidikan dasar, tetapi juga pada pendidikan tinggi. Namun, entah mengapa belakangan ini dunia pendidikan kita kian mengisolasi diri dari dunia luar dan hanya ingin
menghasilkan lulusan yang terbelenggu kurikulum. Yang disebut dosen teladan adalah dosen yang patuh mengikuti kurikulum, menulis karya ilmiah di jurnal-jurnal tertentu yang sudah ditentukan, meski pembacanya belum tentu memadai, dan rajin mengisi daftar absensi.
Dengarlah protes Kazuo Murakami PhD, pemenang penghargaan Max Planck (1990) yang menulis buku Tuhan dalam Gen Kita: The Devine Message of The DNA (2007). Ia terpaksa hijrah ke AS saat menyaksikan dominasi guru-guru kurikulum di Jepang membangun benteng hierarki. Universitas, katanya, telah menjadi menara gading yang tak peduli dengan apa yang terjadi di luar. Meski belum menonjol di masyarakat, peran guru-guru inspiratif ini amat dibutuhkan. Terlebih anggaran pendidikan kita masih terbatas dan lulusannya banyak yang tidak bisa bekerja sesuai dengan bidang studi yang ditempuhnya. Kita tidak bisa mendiamkan lahirnya generasi yang patuh kurikulum, pintar secara akademis, tahu kebenaran internal, tetapi kurang kreatif mendulang kesempatan dan buta kebenaran eksternal. Ada dua masalah yang harus direnungkan.

Pertama, guru kurikulum hanya membentuk kompetensi (student's ability), hanya membentuk beberapa orang, untuk kepentingan orang itu sendiri. Guru inspiratif membentuk bukan hanya satu atau sekelompok orang, tetapi ribuan orang. Satu orang yang terinspirasi menginspirasi lainnya sehingga sering terucap kalimat "Aku ingin jadi seperti dia” atau ” Aku bisa lebih hebat lagi.”
Kedua, ketidakmampuan para pendidik merespons aneka tekanan eksternal dapat membuat mereka membentengi diri secara berlebihan dengan mengunci kurikulum secara sakral. Tiap upaya yang dilakukan para guru kreatif untuk meremajakannya dianggap ancaman, bahkan sebagai perbuatan tidak bermoral. Masih teringat jelas, kejadian yang menimpa seorang guru inspiratif yang saya kenal. Pada tahun 2005 ia menerima penghargaan dari Yayasan Pengembangan Kreativitas atas karya-karyanya di bidang pendidikan. Saat itu, penghargaan serupa dalam setiap bidang juga diberikan kepada Helmi Yahya, Jaya Suprana, Bang Yos, dan Guruh Soekarno Putra. Akan tetapi, tak banyak yang tahu hari-hari itu ia baru saja menerima ancaman pemecatan karena dianggap melanggar "kurikulum". Kesalahannya adalah telah memperbarui metode pengajaran agar murid-murid menjadi lebih artikulatif. Murid senang, tidak berarti guru-guru lain senang. Mereka merasa terganggu oleh penyajian di luar kurikulum dan mereka menuntut agar guru ini ditarik. Semester berikutnya nama dia dicoret dari daftar pengajar. Karier guru besarnya pun dipersulit oleh guru-guru kurikulum yang menggunakan kaca pembesar menguji kebenaran internal.
Kata Jagdish N Sheth, mereka dapat menjadi arogan, terperangkap dengan kompetensi masa lalu, ingin hidupnya nyaman, dan membangun batas-batas kekuasaan teritorial. Perilaku internal itu adalah belenggu inertia, yang disebutnya destructive habits. Mereka menggunakan mikroskop untuk memperbesar hal-hal kecil yang tidak
dimiliki. Sudah saatnya benteng inertia seperti ini dihapus dengan "memanusiawikan" kurikulum dan memberi ruang lebih memadai bagi guru-guru kreatif.
(Sumber : http://migas-indonesia.net , diunduh 13 Agustus 2009)
Pertanyaan selanjutnya yang menjadi relevan adalah bagaimana menjadi guru yang inspiratif (how to create inspiring teacher)? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, halaman 423 tertera bahwa inspirasi adalah ilham. Sementara ilham merupakan “1. Petunjuk Tuhan yang timbul di hati, 2. Pikiran (angan-angan) yang timbul dari hati, 3. sesuatu yang menggerakkan hati untuk mencipta.” Guru inspiratif mencerminkan kemampuan guru dalam menggerakkan hati dan potensi peserta didik untuk sesuatu yang bermanfaat buat kehidupan dirinya dan orang lain. Dalam tulisan Rhenald dicontohkan Erin Gruwell dalam film Freedom Writers yang juga pernah saya lihat. Dalam perspektif yang mendunia, contoh guru ideal yang menginspirasi anak manusia dunia adalah Nabi Muhammad Saw. Lebih dari 1,5 Miliar manusia beragama muslim karena sifat Rasul yang sudah praksis : STAF (Shiddiq=integritas, kejujuran, Tabligh=komunikatif, Amanah=dapat dipercaya, memegang teguh nilai, dan Fathonah=cerdas).
Beberapa pemikiran ini dapat dilakukan agar guru menjadi inspiratif bagi peserta didiknya.

1.     Menjaga komitmen untuk terus memberikan spirit kreatif-inspiratif kepada siswa
Pesan ini ditulis oleh Ngainun Naim penulis buku Menjadi Guru Inspiratif yang terbit April 2009. Guru inspiratif itu bukan sesuatu yang given. Ia adalah proses. Tidak muncul begitu saja. Ketika menjadi guru, langsung menjadi inspirasi. Jelas tidak semudah itu. Sebab, institusi pendidikan “pencetak” guru pun tak pernah membekali kemampuan seperti itu. Oleh sebab itu, guru inspiratif harus dibentuk. Salah satu faktornya adalah menjaga komitmen untuk terus memberi spirit kreatif-inspiratif kepada para siswa. Dengan spirit ini, guru dapat menciptakan manusia unggul yang penuh dengan kreativitas dan kemampuan kompetitif. Banyak kisah inspiratif disajikan dalam buku setebal 290 halaman tersebut. Kisah-kisah tersebut adalah insight buat para guru untuk memulai menjadi guru yang inspiratif.
2.     Menyukai tantangan dengan terus belajar. Hasil penelitian World Bank menyatakan bahwa faktor dominan penentu daya saing bangsa di abad 21 ini adalah : 1) inovasi (45%), 2) teknologi (30%), 3) jaringan kerjasama (15%), dan sumber daya alam (kontribusinya cuma 10%). Fakta tersebut adalah tantangan bagi guru untuk mempersiapkan peserta didik yang mampu eksis dan bermanfaat bagi kehidupan. Keterampilan yang diperlukan dalam menghadapi kehidupan pada abad 21 ini adalah : kemampuan komunikasi (communication skills), keterampilan dasar (basic skill) seperti matematika dan bahasa, keterampilan teknologi (technology skills), keterampilan memecahkan masalah (problem solving skills), literasi (kemampuan keterbacaan ) terhadap keberagaman budaya dan bahasa (multicultural/.multilingual literacy), keterampilan interpersonal (interpersonal skills), keterampilan menemukan (inquiry/reasoning skills), keterbacaan terhadap informasi/teknologi digital (information/digital literacy) , dan kemampuan berpikir kritik dan kreatif (critical and creative thinking skills). Bagaimana mungkin seorang guru tidak belajar atau tidak menyukai tantangan belajar sementara tuntutan kepemilikan keterampilan sungguh banyak dan amat dibutuhkan peserta didik? Maka seperti kaidah fiqh mengatakan ”Faqudisysyai laa yu’ti” bagimana dia akan memberi jika tidak mempunyai?.
Â
3.     Mengembangkan ketegasan dan kehangatan dalam kehidupan guru dan siswa. Ciptakan posisi psikologi yang akrab dengan peserta didik. Akrab dengan peserta didik akan membentuk persahabatan,utamanya pada siswa menengah. Namun, akrab bukan tanpa aturan. Aturan tetap diperlukan karena ada privasi guru yang tidakperlu disampaikan kepada siswa. Kombinasi tegas dan hangat ini adalah kombinasi yang pas bila berinteraksi dengan siswa. Tegas berorientasi pada autran. Hangat berfokus pada komunikasi dan hubungan interpersonal. Posisi ini akan menghasilkan tereliminasinya jarak sosial dan psikis peserta didik. Inspirasi yang diberikan guru akan terendapkan pada jiwa dan pemikiran peserta didik. Pada gilirannya peserta didik akan merasakan ”kehadiran” inspirasi yang diberikan guru kepadanya.
Â
4.     Mengelola pembelajaran dgn kisah inspiratif. Guru adalah profesi yang sangat memungkinkan penanaman karakter yang diinginkan sekolah dan nilai-nilai agama. Profesi guru sangat tepat untuk membentuk karakter peserta didik dari sejak TK hingga sekolah menengah atas. Oleh karena itu, amat disayangkan bila rutinitas guru mengajar dilakukan tanpa adanya campur tangan ”inspirasi”. Berikanlah kisah-kisah yang inspiratif untuk disampaikan di sela-sela pembelajaran. Jika pembelajaran berlangsung 2 x 45 menit, siapkanlah 1 atau 2 kisah inspiratif untuk disampaikan kepada mereka. Ada baiknya kisah tersebut berkenaan dengan mata pelajaran atau bab/pokok bahasan/materi yang disampaikan sehingga muatan kompetensi yang akan dibentuk menjadi lebih kaya dengan tambahan unsur bercerita. Sebaiknya pula kisah inspiratif yang disajikan guru adalah kisah nyata. Kisah nyata memberikan nuansa yang lebih kuat untuk mengubah cara pandang peserta didik dalam melihat persoalan kehidupan manusia.

Sekali lagi, guru adalah sumber inspirasi bagi peserta didiknya untuk berkembang. Jangan biarkan kecerdasan multi dimensi peserta didik terabaikan. Tidak dikelola dengan baik oleh gurunya.Guru sekadar rutinitas mengajar atau sekadar menjadi guru kurikulum. Yang lebih baik adalah kombinasi: ia menjadi guru kurikulum sekaligus guru yang menginspirasi. (Suhartono)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar